Selasa, 28 Februari 2012

Cerdas Menghadapi “Post Power Syndrome”

Lelaki tua itu tampak terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Matanya berkaca-kaca ketika bekas koleganya selama dia masih aktif bekerja dulu datang menjenguknya. Melihat yang dijenguk menangis, sang penjenguk yang rata-rata ibu-ibu pun ikut-ikutan menitikkan air mata. Tak pernah terbayang di benak mereka, bahawa kepala sekolah mereka yang dulu begitu garang dan berwibawa di depan anak buahnya, kini tengah terpuruk tertimpa stroke, tak lama setelah ia tak lagi menjabat sebagai kepala sekolah.

Sebutlah namanya Pak Badrun. Usianya masih 60 tahun lebih sedikit. Beberapa tahun lalu, dia menjabat sebagai kepala sekolah X. Ketika ada aturan pembatasan masa kerja kepala sekolah, beliau termasuk yang terkena aturan ini. Ia pun kembali menjadi guru biasa. Kejadian ini cukup membuatnya tertekan karena sebagai orang yang pernah berkuasa, ia tak dapat dengan mudah memposisikan dirinya sebagai anak buah. Tak lama kemudian, ia pun sakit-sakitan dan terakhir ini dia terkena stroke.

Berbeda dengan Pak Yono, yang juga pensiunan. Setelah pensiun, beliau lebih sibuk mengurus tanamannya. Selain itu, dia juga disibukkan dengan kegiatan mengantar-jemput cucunya yang masih TK di sekolah. Setelah pensiun, hidupnya menjadi terasa lebih hidup, lebih ceria, dan lebih berwarna.

Yups, inilah dua kondisi yang seringkali dialami oleh pensiunan. Satu dapat menerima dan menikmatinya dengan lapang dada, sedangkan yang satu lagi belum dapat menerima bahwa dirinya sudah tak lagi memiliki kekuasaan seeperti dulu. Hal yang kedua ini disebut sebagai post power syndrome, sindroma setelah kekuasaannya berakhir. Sebenarnya tak hanya pada bekas orang yang memiliki kekuasaan saja, tetapi sindroma ini juga bisa menimpa orang-orang yang pernah berjaya pada masa lalu, misalnya pada bintang cilik yang cemerlang pada zamannya tetapi ketika dewasa tidak lagi dikenal, atau pada artis yang pernah begitu laris pada ketika mudanya tetapi tak lagi dapat job saat usia telah beranjak tua. Semua orang bisa berpotensi terkena post power sindrome.

Banyak orang yang terkena post power syndrome ini setelah masa kejayaannya berakhir. Gejala paling sederhana, adalah ketika dia lebih suka bercerita mengenang masa lalunya yang penuh kejayaan daripada menghadapi hari-hari yang tengah dihadapinya. Atau, justru ia menjadi orang yang sedemikian menutup diri dari lingkungannya karena merasa ia tak lagi memiliki kekuasaan sehingga orang lain tak mau menghargai dirinya.  Ia menjadi orang yang pemurung dan mudah tersinggung, juga selalu menganggap negatif semua hal yang terjadi di sekitarnya.

Secara fisik, yang orang yang menderita post power syndrome akan tampak kuyu, lemah, mudah sakit-sakitan, dan terlihat lebih tua daripada usia yang sebenarnya. Tak jarang banyak yang akhirnya terserang penyakit stroke dan komplikasi. Penyakin-penyakit ini memang merupaka penyakit fisik, tetapi tak dapat kita pungkiri bahwa beban pikiran bisa menjadi pemicunya.

Bagaimana Cara Menghadapi Post Power Syndrome?


Post Power Syndrome tak akan menghinggapi kita jika kita menganggap kekuasaan yang sedang kita pegang ini hanyalah sementara. Jika hanya sementara, maka kita tak akan mengejar kekuasaan itu dan bahkan menyalahgunakan kekuasaan itu untuk kepentingan dirinya sendiri.

Selain itu, saat kita sedang berjaya, kita mestilah menyediakan rencana cadangan jika tak lagi memiliki jabatan. Paling tidak, kita memiliki rencana tentang apa yang akan kita lakukan jika masa kekuasaan itu berakhir. Untuk yang purnatugas bisa merencanakan kegiatan hariannya.

Tetap bergaul seperti biasa. Bergaul merupakan salah satu ciri kita sebagai makhluk sosial. Kalau kita mengasingkan diri, tentu kehidupan kita akan terasa suram. Beberapa orang mungkin akan berubah sikap ketika kita tak lagi punya kekuasaan. Tetapi yakinlah, akan banyak orang yang lebih menghargai kita ketika kita mampu untuk tetap bersosialisasi. Bahkan, akhirnya kita tahu mana orang yang tulus, mana orang yang tak tulus terhadap kita.

Melakukan kegiatan bermanfaat yang dulu tak bisa sering kita lakukan. Tanpa kekuasaan, mungkin kita akan memiliki pemasukan yang lebih sedikit. Namun, tanpa kekuasaan, kita jadi punya lebih banyak waktu luang. Jika dulu kita tak sempat untuk sekadar berhandai-handai dengan tetangga atau keluarga, sekarang waktu yang terluang lebih banyak sehingga kita bisa melakukan apa yang dulu tak kita lakukan.

Menghadapi semuanya dengan sudut pandang positif sangatlah penting. Dengan demikian, kita terhindar dari sikap berburuk sangka yang justru bisa merusak nood kita. Kita pun tetap bahagia dengan apa yang kita punya sekarang.

***

Kekuasaan bukanlah segalanya. Berakhirnya kekuasaan juga bukan akhir segalanya. Banyak orang yang tak bisa mengatasi post power syndrome, tetapi banyak pula yang cerdas menghadapinya sehingga hidupnya menjadi lebih baik meskipun tak lagi berjaya. Semuanya tergantung pada caranya menghadapi kenyataan.

(Sumber : Internet)